Presiden Joko Widodo resmi menjadikan Raden Aria Wangsakara sebagai Pahlawan Nasional di Hari Pahlawan 10 November 2021. Wangsakara merupakan keturunan dari penguasa kerajaan Sumedang Larang yang lantas pindah ke Kerajaan Islam Banten karena menolak kekuasaan kompeni VOC Belanda dan Mataram.
Ia lahir pada sekitar 1615 dan meninggalkan Sumedang pada 1646 karena tidak rela tanah leluhurnya dikuasai Mataram yang berdamai dan kerja sama dengan VOC. Di daerah kekuasaan Banten ia tinggal dan mendapatkan lahan di Lengkong bersama pengikutnya.
Di buku ‘Aria Wangsakara Tangerang, Imam Kesultanan Banten, Ulama Pejuang Anti Kolonialisme 1615-1681’ yang ditulis Mufti Ali, Aria Wangsakara dikisahkan jadi salah satu utusan Mahmud Abdul Qodir raja Banten waktu itu untuk pergi bertemu dengan pemimpin di Mekah bernama Sultan Syarif Zaid bin Muhsin. Ia datang ke sana bersama rekannya bernama Lebe Panji dan Tisnajaya. Tujuan utamanya adalah agar Banten mendapat pengakuan sebagai kesultanan Islam di tanah Jawa.
Banten yang makmur waktu itu sebagai penghasil rempah membawa hadiah berupa cengkeh, pala, cendana, kasturi hingga kayu gaharu. Surat disampaikan ke Syarif Mekah yang juga berisi permohonan agar ada ahli agama yang mau ke tanah Banten untuk mengajarkan ilmu-ilmu agama.
Permintaan agar ada seorang alim dari Mekah rupanya tidak bisa dikabulkan oleh Syarif karena tak ada ulama yang bersedia meski pemimpin itu sudah membujuk. Wangsakara yang juga rupanya menemui ulama-ulama di sana termasuk dari Turki tapi kebanyakan menolak pergi ke tanah Jawa.
Lantas, kunjungan itu kemudian dibalas pemberian oleh Syarif Mekah berupa hadiah tirai dan kain kiswah penutup Ka’bah, tirai penghalang makam Muhammad SAW, bendera pusaka dan surat penobatan Raja Banten sebagai sultan dengan nama pengganti menjadi Sultan Abul Mafakhir Makhmud Abdul Qodir.
Meskipun sebetulnya, pemberian pusaka ke kerajaan Banten sempat ada pertentangan dari penasihat Syarif mengingat itu adalah lambing kekuasaan Mekah.
“Namun Syarif Mekah bersikukuh untuk memberikan bendera pusaka itu karena melihat kesungguhan utusan Banten dalam mengikuti jejak Rasulullah SAW. Dengan mencium kaki Syarif Mekah, Aria Wangsakara dan Demang Tisnajaya pamit untuk meninggalkan Mekah dan kembali ke Banten,” tulis Mufti sebagaimana dikutip dari detikcom Rabu (10/11/2021).
Atas upaya diplomasi dan mendapat pengakuan Banten sebagai Kesultanan Islam, Wangsakara kemudian diberi gelar Kyai Mas Haji Wangsaraja. Utusan lain pun mendapatkan hadiah, gelar dan sambutan dari masyarakat Banten begitu mendarat.
Di masa Kesultanan Banten dipimpin Sultan Ageng Tirtayasa, Wangsakara yang tinggal di Lengkong (sebuah daerah di Tangerang), ia mendapat gelar Imam. Pemberian gelar itu juga karena Sultan Ageng tahu bahwa ia adalah sosok yang cakap dalam agama Islam. Saat diutus ke Mekah Wangsakara rupanya menyalin kitab-kitab Tasawuf atas permintaan Abul Mafakhir.
“Salah satu kitab yang diberikan tersebut adalah kitab Insan Kamil tentang tasawuf karya Syech Abdul Karim Al Jilli, pengikut Ibn Arabi. Kitab ini disalin dan diterjemahkan ke bahasa Jawa Banten, kemungkinan oleh Wangsakara. Kitab ini menjadi bahan kajian di Kesultanan Banten. Kini salinan kita terdiri dari 2 jilid setebal 1.703 halaman dan disimpan di Universitas Leiden,” tulis Mufti di buku yang menjadi naskah akademik untuk pengusulan Wangsakara menjadi pahlawan itu.
Di masa pimpinan Sultan Ageng Tirtayasa ini, Wangsakara juga mendapatkan peran dalam upaya perjuangan melawan kompeni Belanda khususnya di wilayah Tangerang. Termasuk di perang pada Desember 1654 antara pasukan Banten dan pasukan Tangerang melawan Belanda yang ingin membuat jalan sepanjang 45 kilometer melalui Cibodas dan Sangiang terus ke wilayah kekuasaan Banten.
“Perjuangan dan militansi berperang serta koordinasi efektif pasukan Banten merepotkan Belanda. Peperangan yang semula diperkirakan akan berlangsung hanya beberapa saat ternyata berlanjut sampai 7 bulan dan memaksa Batavia untuk berunding mengakhiri peperangan yang merugikan mereka,” tulisnya. (bpro)