Menu

Mode Gelap

Daerah · 3 Jan 2022 08:07 WIB

Survei BPS: Masyarakat Lebih Bahagia Meski 2 Tahun Dihantam Pandemi


 Survei BPS: Masyarakat Lebih Bahagia Meski 2 Tahun Dihantam Pandemi Perbesar

Selama dua tahun terakhir, pandemi Covid-19 memukul kesejahteraan masyarakat. Turunnya kualitas kesehatan dan ekonomi masyarakat berdampak luas pada berbagai sendi kehidupan.

Namun, di tengah berbagai keterbatasan itu, Indeks Kebahagiaan Indonesia 2021 justru meningkat dibanding sebelum pandemi.

Menjelang akhir tahun 2021, Badan Pusat Statistik meluncurkan Indeks Kebahagiaan Indonesia (IKI) 2021. Hasilnya, kebahagiaan masyarakat mencapai nilai 71,49 atau naik dibanding indeks serupa tahun 2017 sebesar 70,69 persen.

IKI itu diperoleh melalui Survei Pengukuran Tingkat Kebahagian (SPKT) 2021 yang dilakukan terhadap 75.000 rumah tangga di 34 provinsi pada 1 Juli-27 Agustus 2021. Data dikumpulkan dengan mewawancarai kepala rumah tangga atau pasangannya dengan pertanyaan yang mencakup 19 indikator dan terbagi dalam tiga dimensi.

Dari seluruh indikator itu, nilai dari 13 indikator meningkat dan tiga indikator turun. Ketiga indikator yang turun nilainya itu adalah ”perasaan tidak khawatir atau cemas” dan ”tidak tertekan” dalam dimensi perasaan serta indikator ”tujuan hidup” dalam dimensi makna hidup.

Semua indikator dalam dimensi kepuasan hidup, baik personal maupun sosial, nilainya meningkat.

Sebanyak 11 provinsi memiliki nilai IKI lebih rendah dari rata-rata nasional dengan nilai terendah berasal dari Banten sebesar 68,08, Bengkulu (69,74), dan Papua (69,87). Sementara provinsi yang paling bahagia adalah Maluku Utara (76,34), Kalimantan Utara (76,33), dan Maluku (76,28).

Hasil survei itu menunjukkan bahwa meski masyarakat cemas dan tertekan dengan pandemi Covid-19, nyatanya kebahagiaan mereka justru meningkat dibanding 2-3 tahun sebelum pandemi.

Baca Juga :  15 Kemampuan Ini Dibutuhkan Mulai 2025, Kuasai Agar Mudah Dapat Kerjaan!

Dikutip dari Kompas.id Senin (03/01/2022), Kepala Pusat Kesehatan Mental Masyarakat Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Diana Setiyawati, mengatakan, pandemi memang meningkatkan distres atau stres negatif akibat besarnya tekanan dan perubahan sosial yang harus dihadapi masyarakat. Namun, peningkatannya kemungkinan tidak signifikan di Indonesia.

Munculnya distres, baik akibat cemas dengan penularan penyakit, hilang atau berkurangnya sumber pendapatan, maupun isolasi dan pembatasan sosial, adalah wajar, reaksi normal dalam situasi yang tidak normal. Reaksi yang muncul itu belum bisa dikategorikan sebagai penyakit mental.

Saat menghadapi tekanan, kehidupan masyarakat biasanya terhenti sesaat dan memaksa mereka beradaptasi dengan mengubah strategi hidup. Namun, hanya sebagian kecil masyarakat Indonesia yang mengalami distres tersebut mengembangkan masalah mental, apalagi sampai menjadi gangguan atau penyakit mental.

Hal ini dinilai Setiyawati sebagai keunikan masyarakat Indonesia yang menimbulkan banyak kekaguman dari peneliti asing. Meski dihantam berbagai bencana dasyat, baik alam maupun buatan, seperti tsunami, gempa bumi, likuefaksi, longsor, banjir, dan serangan bom yang menewaskan banyak orang dan menimbulkan kerugian materi sangat besar, masyarakat Indonesia cepat bangkit dan kehidupan pun segera pulih.

”Orang Indonesia itu memiliki buffer atau penyangga yang sumbernya spiritualitas masyarakat,” katanya.

Spiritualitas ini ditemukan di semua budaya dan agama yang ada di Indonesia.

Memperkuat spiritualitas

Spiritualitas inilah yang menyelamatkan masyarakat Indonesia dalam menghadapi pandemi. Nilai spiritualitas yang dimiliki membuat masyarakat memiliki pandangan berbeda terhadap hal-hal yang sejatinya tidak mengenakkan, seperti isolasi.

Baca Juga :  Libur Lebaran Ada ‘Kuntilanak 3’

Isolasi sering dipandang sebagai penguncian yang memutus hubungan dengan orang lain. Namun, orang Indonesia justru memandang isolasi sebagai kesempatan untuk lebih banyak di rumah dan berkumpul bersama keluarga.

”Nilai-nilai spiritualitas itu yang tidak ditemukan dalam masyarakat Barat yang mengedepankan rasionalitas,” kata Setiyawati.

Kondisi itu didukung dengan kuatnya pandangan materialisme yang berakar pada ilmu pengetahuan dan sekulerisasi yang memisahkan sains dengan agama sehingga spiritualitas berbasis agama atau kepercayaan itu tidak muncul dalam masyarakat Barat.

Di luar persoalan spiritualitas, lanjut Setiyawati, tingkat pendidikan, tempat tinggal, hingga besarnya pendapatan juga memengaruhi kebahagiaan masyarakat. Hal yang bersifat material yang dimiliki akan membantu pemahaman dan pengetahuan masyarakat. Dengan pengetahuan itu, masyarakat bisa beradaptasi lebih cepat dan lebih baik dalam menghadapi pandemi.

Situasi itu selaras dengan hasil SPKT 2021 yang menunjukkan masyarakat kota lebih bahagia dibanding orang desa serta makin tinggi pendapatan dan tingkat pendidikan membuat makin bahagia. Mereka yang memiliki pendidikan dan ekonomi lebih baik menjadikan mereka lebih mudah mengakses teknologi yang kebergantunganya meningkat drastis selama pandemi.

Sebaliknya, berbagai kemudahan yang ditawarkan teknologi itu juga menggerus nilai-nilai spiritulitas. Kondisi ini membuat pewarisan nilai-nilai spiritualitas kepada anak oleh keluarga punya andil besar. Namun, ini juga bukan hal mudah seiring banyaknya perubahan yang terjadi dalam keluarga. (bpro)

Artikel ini telah dibaca 0 kali

badge-check

Jurnalis

Baca Lainnya

Dishub Kota Tangerang Akui Belum Maksimal Tegakkan Perwal Jam Operasi Truk Tanah

8 Maret 2024 - 21:25 WIB

Mahasiswa Demo Dishub Kota Tangerang soal Operasional Truk Tanah

8 Maret 2024 - 15:16 WIB

Acara Sosialisasi Undian Gratis Berhadiah Dinsos Dianggap Tak Ramah Difabel

7 Maret 2024 - 20:38 WIB

Panduan Undian Berhadiah dan Pengumpulan Dana, Ini Aturan dan Syaratnya

7 Maret 2024 - 20:30 WIB

KPU Kota Tangerang Akhiri Drama Rekapitulasi Suara Pemilu 2024

7 Maret 2024 - 17:03 WIB

Samsat Kalong: Layanan Pajak Inovatif Selama Ramadan di Kota Tangerang

7 Maret 2024 - 15:53 WIB

Trending di Daerah