Pengesahan Undang-Undang Ibu Kota Negara (IKN) dalam Rapat Paripurna DPR, Selasa, 18 Januari 2022 lalu menuai kritikan.
Salah satu yang mengkritik keputusan ini adalah eks Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Din Syamsuddin.
Dia menilai, pemindahan ibu kota negara dari Jakarta ke Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur di masa pandemi Covid-19 tidak memiliki urgensi apapun.
Sebaliknya, keputusan memindahkan ibu kota negara yang bernama Nusantara itu tidak bijak. Terlebih, pemerintah masih dililit utang yang cukup tinggi.
Oleh karena itu, Din Syamsuddin menegaskan bahwa pihaknya akan melakukan langkah nyata dalam menolak pemindahan ibu kota negara, yakni dengan mengajukan gugatan UU IKN ke Mahkamah Konstitusi (MK).
“Segera kita gugat UU itu ke Mahkamah Konstitusi (MK),” ujarnya pada wartawan dikutip bantenpro.id dari pikiranrakyat.com, Jumat (21/01/2022).
Lebih lanjut, Din Syamsuddin menyesalkan bila demi keputusan yang tidak bijak itu aset negara di Jakarta dijual.
Apalagi, pembangunan ibu kota baru berpotensi merusak lingkungan hidup dan menguntungkan kaum oligarki.
“Maka pemindahan Ibukota negara adalah bentuk tirani kekuasaan yang harus ditolak,” tandasnya.
Sebagai informasi, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera DPR sebelumnya menolak pengesahan Undang-Undang Ibu Kota Negara untuk dibawa dalam pengambilan keputusan tingkat II di rapat paripurna.
Penolakan itu dibacakan oleh anggota Panitia Khusus (Pansus) RUU IKN DPR dari Fraksi PKS, Suryadi Jaya Purnama dalam rapat Pansus IKN, Selasa, 18 Januari 2022 dini hari.
Suryadi mengungkapkan, alasan pihaknya menolak RUU IKN lantaran masih banyak substansi dan pandangan Fraksi PKS yang belum terakomodasi dalam RUU tersebut.
“Maka Fraksi PKS DPR RI, dengan mengucapkan Bismillahirrahmanirrahim menyatakan menolak Rancangan Undang-undang tentang Ibu Kota Negara untuk dilanjutkan ke tahap berikutnya,” ujarnya.
Fraksi PKS melihat bahwa rencana pemindahan ibu kota negara mulai tahun 2024 itu tidak terdapat dalam rencana pembangunan jangka panjang nasional (RPJPN) 2005-2025.
“Yang ditetapkan dalam UU Nomor 17 tahun 2007 tentang Rencangan Pembangunan Jangka Panjang Nasional tahun 2005-2025. Hal ini dapat memberikan indikasi bahwa pemerintah tidak mengacu pada rencangan pembangunan jangka panjang yang telah ditetapkan sampai 2025,” jelasnya. (bpro)