Vaksin Sinovac telah digunakan di 48 negara termasuk Indonesia untuk membantu mengatasi Covid-19. Namun, penelitian terbaru menemukan, vaksin yang paling banyak digunakan secara global ini tidak efektif melawan varian Omicron.
Studi yang dipublikasikan di jurnal Nature Medicine pada Kamis (20/1/2022) ini dilakukan peneliti dari Yale School of Public Health, Amerika Serikat dan Kementerian Kesehatan Republik Dominika. Republik Dominika menjadikan Sinovac sebagai vaksin utama untuk melawan Covid-19 dan karenanya mereka mengkajinya untuk menilai efektivitasnya melawan varian Omicron.
Kajian ini menemukan, analisis serum darah dari 101 orang dari Republik Dominika menunjukkan bahwa mereka yang menerima dua suntikan standar vaksin Sinovac tidak menghasilkan antibodi penetral melawan infeksi Omicron.
Namun, tingkat antibodi terhadap Omicron meningkat di antara mereka yang juga menerima suntikan penguat atau booster vaksin mRNA yang dibuat oleh Pfizer-BioNTech.
Peneliti kemudian membandingkan sampel itu dengan sampel serum darah yang disimpan di Yale. Mereka menemukan bahwa orang yang menerima dua suntikan Sinovac ditambah penguat vaksin mRNA memiliki tingkat antibodi yang hampir sama dengan mereka yang menerima dua suntikan vaksin mRNA tanpa suntikan penguat.
Dalam penelitian lain, vaksin mRNA dua suntikan tanpa penguat telah terbukti hanya menawarkan perlindungan terbatas terhadap Omicron. Para peneliti juga menemukan bahwa individu yang telah terinfeksi oleh jenis virus SARS-CoV-2 sebelumnya menunjukkan sedikit perlindungan kekebalan terhadap Omicron.
Akiko Iwasaki, profesor imunobiologi dari Yale dan penulis senior makalah ini, mengatakan, temuan ini kemungkinan akan memperumit upaya global untuk memerangi varian Omicron yang telah menggantikan varian Delta. Dia juga mengingatkan, tambahan suntikan penguat sedikitnya dua kali diperlukan bagi mereka yang telah mendapatkan suntikan Sinovac.
”Suntikan penguat jelas diperlukan dalam populasi ini karena kita tahu bahwa dua dosis vaksin mRNA sekalipun tidak memberikan perlindungan yang cukup terhadap infeksi Omicron,” kata Iwasaki.
Omicron lebih sulit dilawan karena memiliki 36 mutasi pada protein lonjakan di permukaannya, yang digunakan virus untuk memasuki sel. Vaksin mRNA yang ada dirancang untuk memicu respons antibodi ketika protein lonjakan dikenali.
Sekalipun kajian ini menunjukkan kurang efektifnya vaksin Sinovac melawan varian Omicron, Iwasaki menekankan bahwa sistem kekebalan manusia masih memiliki senjata lain yang dapat digunakan untuk melawan Covid-19. Senjata itu adalah sel T yang dapat menyerang dan membunuh sel yang terinfeksi serta mencegah penyakit parah.
”Tapi, kita tetap membutuhkan antibodi untuk mencegah infeksi dan memperlambat penularan virus,” katanya.
Peringatan untuk Indonesia
Epidemiolog Indonesia di Griffith University, Dicky Budiman, mengatakan, hasil penelitian ini harus jadi peringatan dini bagi Indonesia yang mayoritas vaksinasinya dengan Sinovac.
Banyak negara dengan vaksinasi tinggi, seperti Australia yang sudah 90 persen vaksinnya, juga kewalahan menghadapi Omicron. Padahal, mayoritas vaksin Covid-19 yang dipakai di Australia berbasis mRNA.
”Sekalipun tingkat keparahan Omicron relatif rendah dibandingkan Delta, jika yang terinfeksi banyak, risiko kematian juga akan meningkat di level populasi. Selain itu, risiko terjadinya gejala Covid-19 jangka panjang juga tetap ada,” kata dia.
Menurut Dicky, vaksin hanya salah satu komponen dalam melawan pandemi. Perlu upaya lain, seperti penguatan tes, lacak, dan isolasi serta penguatan protokol kesehatan untuk mengatasi pandemi.
Membiarkan wabah meluas karena tingginya antibodi di populasi, baik karena vaksinasi atau infeksi sebelumnya, menurut Dicky, juga berisiko memicu peluang munculnya varian baru SARS-CoV-2. (bpro)