Pemerintah berencana menghapus rekrutmen tenaga honorer, tenaga harian lepas (THL) atau sejenisnya, mulai 2023 mendatang. Sebagai gantinya, terdapat tenaga outsourcing sebagai alih daya untuk melakukan tugas penunjang.
Tenaga outsourcing yang akan dipakai adalah tenaga pelaksana pekerjaan mendasar, seperti tenaga kebersihan (cleaning service), sopir, office boy atau pramubakti dan tenaga keamanan (sekuriti).
Hal tersebut disampaikan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Tjahjo Kumolo melalui keterangan resmi pada 19 Januari 2022 lalu.
Lantas, apa itu outsourcing? Bagaimana aturan hukumnya di Indonesia?
Secara sederhana, tenaga outsourcing adalah tenaga kerja yang bekerja di satu perusahaan atau institusi, tetapi secara hukum, mereka ada di bawah perusahaan lain.
Di Indonesia, keberadaannya diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, khususnya pada Bab IX Pasal 64-66.
Dalam Pasal 64 disebutkan, tenaga outsource boleh digunakan untuk melaksanakan sebagian pekerjaan di sebuah perusahaan. Hal itu dilakukan berdasarkan perjanjian yang dibuat secara tertulis antara perusahaan pengguna dan perusahaan penyedia tenaga outsource.
Perusahaan penyedia tenaga outsource ini harus berbentuk badan hukum dan memiliki izin sesuai bidangnya. Meski bisa masuk dan bekerja di sebuah perusahaan lain, area kerja pegawai alih daya jika mengacu UU Nomor 13 Tahun 2003 diatur sedemikian rupa.
Misalnya, pekerjaannya harus dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama perusahaan tempatnya ditugaskan. Tugasnya merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan, bukan kegiatan utama perusahaan tempatnya bertugas.
Berikut bunyi Pasal 66 ayat (1) UU Nomor 13 Tahun 2003:
“Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi,” tertulis dalam pasal tersebut.
Misalnya, sebuah perusahaan properti mempekerjakan tenaga alih daya, maka pekerja alih daya tersebut tidak ditugaskan di bidang-bidang yang berkaitan dengan kegiatan utama perusahaan properti itu, melainkan di bagian penunjang, bisa bagian keamanan, kebersihan, dan sebagainya.
Disebutkan sebelumnya, tenaga outsourcing merupakan tenaga kerja yang ada di bawah perusahaan yang berbeda dengan perusahaan tempatnya bertugas. Atas dasar itu, status hubungan kerja seorang tenaga alih daya adalah di bawah perusahaan yang mempekerjakannya, bukan perusahaan tempatnya bertugas. (bpro)