bantenpro.id – Sidang perdana dengan terdakwa Oke Sulendro Setyo dalam kasus dugaan korupsi proyek Pasar Lingkungan Kecamatan Periuk Kota Tangerang mengungkap fakta baru.
Hasil penyidikan jaksa dalam surat dakwaan mengungkap, pengerjaan proyek senilai Rp4,8 miliar pada tahun anggaran 2017 itu digarap dan dikendalikan oleh orang-orang di luar manajemen perusahaan pemenang lelang PT Nisara Karya Nusantara. Orang-orang itu bernama Dedy Iskandar dan Allan Ray, juga menjadi terdakwa dalam perkara ini.
Fakta itu terungkap dalam surat dakwaan yang dibacakan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri Kota Tangerang di ruang sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Serang, Selasa (16/08/2022).
Pantauan bantenpro.id di ruang sidang, tim JPU yang hadir terdiri dari Chandra Kirana, Mayang Tari, Meffy Olivia, Misael Tambunan dan Eva Novyanti. Sedangkan terdakwa Oke Sulendro mengikuti sidang secara virtual dari Rumah Tahanan Klas IIB Pandeglang. Persidangan diketuai Majelis Hakim Atep Sopandi.
Jaksa mengungkapkan, sejak awal pelaksanaan kegiatan pembangunan, Direktur PT Nisara Karya Nusantara Andi Arifin telah melibatkan Dedy Iskandar untuk mengerjakan kegiatan pembangunan pasar lingkungan tersebut. Dedy Iskandar kemudian menunjuk Allan Ray untuk bertindak sebagai site manager.
“Bahwa Dedy Iskandar dan Allan Ray masing-masing bukanlah personel yang didaftarkan oleh Andi Arifin sebagai tenaga ahli dalam dokumen penawaran,” kata JPU dalam surat dakwaan.
Pada kasus ini, Dedy Iskandar menerima kuasa dari Andi Arifin untuk melaksanakan pekerjaan pembangunan Pasar Lingkungan sepenuhnya. Dedy Iskandar juga-lah yang bertindak sebagai pemodal. Dia yang mengusahakan dan menyediakan modal kerja untuk melaksanakan pembangunan pasar tersebut.
Urusan penagihan pembayaran pekerjaan juga dijalankan oleh Dedy Iskandar. Bahkan Dedy Iskandar mendapat kewenangan untuk membuka rekening bank dan hanya dia yang bisa mencairkannya.
Menurut JPU, nomor rekening bank perusahaan yang diajukan pada saat pencairan berbeda dengan nomor rekening sebagaimana dalam dokumen penawaran. Meski benar rekening tersebut atas nama PT Nisara Karya Nusantara, akan tetapi spesimen tanda tangan untuk transaksinya merupakan tanda tangan Dedy Iskandar. Bukan tanda tangan Andi Arifin selaku direkturnya.
“Sehingga yang dapat mengaksesnya hanyalah Dedy Iskandar,” bunyi surat dakwaan JPU.
Dalam permohonan pembayaran pekerjaan, terdakwa Oke Sulendro yang menjabat sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) kemudian menyetujui penggantian nomor rekening PT Nisara Karya Nusantara tanpa diatur dalam dokumen kontrak. Menurut JPU, tindakan Oke Sulendro ini melanggar peraturan presiden tentang pengadaan barang/jasa pemerintah serta melanggar isi surat perjanjian kontrak itu sendiri.
Pelaksanaan pembangunan Pasar Lingkungan juga tak sesuai rencana. Pekerjaan yang harusnya selesai dalam 150 hari kalender sejak 1 Agustus 2017 itu tak dapat tercapai. Hingga akhirnya dilakukan perubahan kontrak sampai tiga kali addendum. Diantaranya mengubah spesifikasi teknis namun tidak sesuai dengan kondisi lapangan.
Belakangan kemudian, ditemukan kegagalan dan kekurangan pada beberapa pekerjaan fisik. Konstruksi bangunan banyak yang rusak. Saat dilakukan audit pada hasil pekerjaan diketahui terdapat kerugian keuangan daerah sebesar Rp640.673.987.
Jaksa penuntut umum, Mayang Tari, menyatakan, perbuatan terdakwa diancam pidana sesuai Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, beserta perubahannya juncto Pasal 55 ayat 1 ke 1 juncto Pasal 64 KUHP.
“Bahwa perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa Oke Sulendro selaku PPK pada kegiatan pembangunan pasar tersebut telah menguntungkan dirinya sendiri atau menguntungkan orang lain,” kata JPU.
Sementara penasihat hukum terdakwa, Jamin Ginting, bakal mengajukan eksepsi atau pembelaan terhadap dakwaan penuntut umum. Menurut Jamin, dakwaan yang dibacakan oleh JPU tidak tepat. Kerusakan yang terjadi pada bangunan pasar itu bukan disebabkan oleh kekurangan spesifikasi pekerjaan, melainkan karena adanya bencana banjir pada tahun 2020 dan 2021.
“Dia (penyidik) melakukan audit di tahun 2021, padahal pasar itu sudah dilakukan serah terima di tahun 2018, sudah ditempati dan digunakan pasti ada kerusakan, kalau itu diperiksa saat pembangunan baru selesai, tentu tidak akan ditemukan adanya kerusakan,” kata Jamin kepada bantenpro.id usai persidangan.
Menurut Jamin, Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) juga harus turut bertanggungjawab dalam permasalahan ini. Sebab, Oke Sulendro hanya menjalankan tugas sebagai PPK atas dasar perintah KPA. Apalagi, addendum pekerjaan tersebut disetujui oleh KPA. Peran KPA dalam proyek tersebut menurut Jamin juga sangat besar. Khususnya dalam pencairan anggaran.
“Pertanyaannya, PPK-nya diminta pertanggungjawaban tapi KPA-nya tidak diminta pertanggungjawaban, harusnya diminta juga, karena pencairan keuangan itu kalau tidak ada persetujuan KPA itu tidak bisa,” tandasnya.
Jamin menyebut, Oke Sulendro tidak memahami bidang konstruksi. Menurutnya, tindakan Oke mengajukan jasa konsultan perencanaan serta konsultan pengawas itu sudah tepat.
Dalam persidangan, bukan hanya pengacara Oke Sulendro saja yang hadir. Penasihat hukum terdakwa lainnya juga hadir langsung di ruang sidang. Namun, seluruh pengacara yang hadir merasa keberatan atas dakwaan JPU.
Selain dakwaan yang dinilai tidak tepat, kesalahan ketik identitas terdakwa dan tidak terteranya tanda tangan Ketua JPU dalam berkas dakwaan yang diterima masing-masing pengacara juga menjadi dasar eksepsi.
Majelis hakim kemudian memutuskan persidangan akan dilanjutkan pada Selasa (22/08/2022) pekan depan dengan agenda eksepsi terdakwa. (mst/bpro)