bantenpro.id, Jakarta – Hingga Rabu (20/01/2021) malam, sudah 43 korban teridentifikasi dari total 62 penumpang dalam manifes pesawat Sriwijaya Air SJ-182. Sebanyak 32 jenazah telah diserahkan kepada keluarga untuk dimakamkan.
Proses identifikasi ini tidak mudah karena tidak semua data dapat dipakai karena tidak ada pembandingnya. Tanpa mengecualikan semua pihak yang bekerja dalam proses pencarian jejak korban, proses identifikasi jenazah juga tidak kalah melelahkan.
Tim yang tergabung dalam Disaster Victim Identification atau DVI ini seakan mengumpulkan potongan-potongan data, informasi, benda, dan apa saja yang terkait korban.
Tujuannya untuk mengenali identitas korban. Pola kerja itu ternyata tidak mudah dikerjakan. Mereka yang bekerja di tengah pandemi Covid-19 harus menjaga diri agar tidak berisiko pada kondisi kesehatannya. Seakan berpacu dengan waktu, mereka terus berjuang mencocokkan data korban sebelum dan sesudah terjadinya kecelakaan.
Tim DVI telah memeriksa 438 sampel, terdiri dari 293 sampel postmortem (data identifikasi yang diambil dari lokasi kejadian) dan 145 sampel dari keluarga serta mengidentifikasi 324 kantong jenazah dan 263 kantong properti. Semua berlangsung dalam kurun waktu 12 hari atau sejak jatuhnya pesawat naas itu perairan Kepulauan Seribu dalam perjalanan Jakarta-Pontianak, Sabtu (09/01/2021).
Data postmortem melibatkan tim pencari di perairan Kepulauan Seribu, Jakarta, hingga kemudian dikumpulkan dalam kantong jenazah. Kantong tersebut berisi segala hal yang terkait dengan jejak korban.
Selanjutnya, petugas gabungan membawa kantong jenazah dari Dermaga Jakarta International Container Terminal (JICT) Tanjung Priok, Jakarta Utara ke Rumah Sakit Polri, Kramat Jati, Jakarta Timur. Kantong jenazah itu kemudian disemprot dengan cairan disinfektan terlebih sebelum dimasukkan ke lemari pendingin untuk diperiksa keesokan harinya.
“Ada pengarahan kepada seluruh tim postmortem pada pagi hari. Setelahnya kami persiapan meja dan bagian tubuh yang akan diperiksa,” ujar Dr Asri Megaratri Pralebda, Ketua Tim Postmortem, dikutip bantenpro.id dari Kompas, Rabu (20/01/2021).
Seluruh petugas masuk ruang otopsi dengan mengenakan alat pelindung diri level 3 sesuai protokol kesehatan di masa pandemi Covid-19. Tim bekerja mulai dari memeriksa bagian tubuh dan properti yang melekat pada korban hingga dokumentasi tertulis dan foto.
Tim hanya membuka empat meja dari 20 meja pemeriksaan dengan tim terdiri dari 3-4 orang. Tujuannya supaya tidak terjadi kluster Covid-19 di kamar jenazah.
Hasil kerja mereka dikumpulkan kepada tim kontrol. Tim ini akan mengecek data-data yang sudah diambil dan menentukan sudah cukup atau belum agar segera dilengkapi sebelum jenazah kembali masuk ke lemari pendingin.
“Data terkumpul dijadikan data besar. Lalu diolah untuk dibandingankan dengan data antemortem,” katanya.
Setiap operasi DVI mengenenali korban dilalui dengan cara yang tidak mudah hingga surat kematian dapat diterbitkan. Identifikasi menggunakan tiga data primer, yaitu deoxyribose-nucleic acid atau DNA, catatan gigi, dan sidik jari. Ketiganya didukung data sekunder berupa catatan medis dan properti.
“Data antemortem (data korban sebelum meninggal dunia) untuk identifikasi korban Sriwijaya Air relatif lengkap, tetapi tidak semua data bisa dimanfaatkan karena pembandingnya tidak ada. Contohnya sebagian besar properti korban berada dalam kondisi tidak berbentuk sehingga tidak bisa dipasangkan dengan data yang ada,” ucap Komisaris Besar Agung Widjajanto, Ketua Tim Rekonsiliasi DVI Polri di Rumah Sakit Polri, Kramat Jati, Jakarta Timur, dikutip bantenpro.id dari kompas.
Pada tahap awal, identifikasi korban menggunakan sidik jari karena didukung temuan bagian tubuh dari tempat kejadian perkara. Tim DVI memeriksa sidik jari dengan alat periksa sehingga langsung mendapatkan hasil.
Namun, tim tidak bisa langsung menyatakan korban teridentifikasi karena harus melewati proses rekonsiliasi atau pencocokan data postmortem. Postmortem salah satunya menggunakan sel dari bagian tubuh atau DNA.
“Seiring waktu berjalan bagian tubuh terurai, salah satunya pembusukan atau jaringan kulit mengalami degradasi,” katanya.
Postmortem melibatkan dokter Polri dan organisasi lain. Misalnya Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia dan Odontologi Forensik.
Komandan DVI Pusat Kedokteran dan Kesehatan Polri Komisaris Besar Hery Wijatmoko menambahkan, jumlah bagian tubuh korban tidak bisa mencerminkan jumlah penumpang karena bisa jadi beberapa bagian tubuh itu berasaldari satu orang. Karena itu, tim memeriksa berbagai sampel selama masih memungkinkan untuk teridentifikasi.
“Pemeriksaan awal menggunakan sidik jari karena bagian tubuh masih segar dan bisa diperiksa. Lalu berkembang identifikasi DNA,” ucapnya.
Kondisi jenazah dan properti korban memang terbatas. Namun, Tim DVI tetap berupaya semaksimal mungkin supaya seluruh korban teridentifikasi. (bpro)
Sumber: Kompas
Tinggalkan Balasan