bantenpro.id, Jakarta – Ketua Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Ahmad Doli Kurnia menyatakan seluruh pimpinan fraksi di komisi pimpinannya sepakat tidak melanjutkan pembahasan Rancangan Undang-undang tentang Pemilihan Umum (RUU Pemilu).
Kesepakatan tersebut diambil dalam rapat yang berlangsung pada hari ini, Rabu (10/02/2021).
“Tadi saya sudah rapat dengan seluruh pimpinan dan kapoksi [ketua kelompok fraksi] yang ada di Komisi II, dengan melihat perkembangan dari masing-masing parpol terakhir-terakhir ini, kami sepakat untuk tidak melanjutkan pembahasan ini [RUU Pemilu],” kata Doli kepada wartawan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta dikutip bantenpro.id dari CNN Indonesia Rabu (10/02/2021).
Dia mengaku akan melaporkan kesepakatan ini ke pimpinan DPR. Menurutnya, komisinya menyerahkan keputusan selanjutnya ke pimpinan DPR RI, termasuk bila ingin menarik RUU Pemilu dari daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021.
“Mekanisme selanjutnya akan kami serahkan kepada mekanisme di DPR, apakah tadi pertanyaannya mau didrop atau tidak itu kan kewenangannya ada di instansi yang lain,” ucap Doli.
Keberadaan RUU Pemilu dalam daftar Prolegnas Prioritas 2021 menjadi polemik dalam beberapa pekan terakhir. Salah satu poin yang menjadi sorotan ialah terkait waktu penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (pilkada).
Dalam draf RUU Pemilu terakhir, penyelenggaraan pilkada akan dinormalisasi dari yang seharusnya digelar serentak dengan pileg dan pilpres pada 2024 menjadi ke 2022 serta 2023.
Ketua Badan Legislasi (Baleg) Supratman Andi Agtas, seperti diberitakan Kompas, mengatakan, pembahasan RUU Pemilu di DPR sulit direalisasikan karena sikap partai politik (parpol) yang kini berbalik menolak revisi UU Pemilu. Posisi Baleg pun problematik karena tersandera dengan belum disahkannya Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021 di dalam rapat paripurna DPR.
Di satu sisi, draf RUU Pemilu itu telanjur ada di tangan Baleg DPR untuk dilakukan harmonisasi dan sinkronisasi. Baleg juga telah meminta pendapat para ahli pemilu dalam harmonisasi dan sinkronisasi RUU Pemilu. Namun, karena Prolegnas Prioritas 2021 belum juga disahkan, proses itu terhenti.
Secara prinsip, kalau melihat kekuatan politik sekarang, agak sulit RUU ini berlanjut. Beberapa parpol menyatakan sikapnya menolak revisi UU Pemilu.
”Secara prinsip, kalau melihat kekuatan politik sekarang, agak sulit RUU ini berlanjut. Beberapa parpol menyatakan sikapnya menolak revisi UU Pemilu. Walau belum secara resmi diungkapkan di dalam rapat di DPR, tetapi arahnya kalau pun nanti di Baleg kami membentuk panitia kerja (panja), saya yakin pembahasan itu tidak dapat diteruskan,” ujarnya.
Supratman mengatakan, ada beberapa langkah yang dapat ditempuh secara prosedural. Pertama, Komisi II DPR dapat menarik usulan revisi UU Pemilu. Sebab, sebelumnya Komisi II yang menginisiasi revisi UU Pemilu. Kedua, jika dalam kesempatan terdekat digelar rapat paripurna DPR, pimpinan DPR dapat menugasi Baleg untuk menggelar rapat kerja (raker) kembali dengan pemerintah guna memastikan kelanjutan RUU ini. Pasalnya, RUU Pemilu itu sebelumnya disepakati oleh pemerintah dan DPR untuk masuk prolegnas.
Ketiga, kalaupun tetap diputuskan untuk masuk ke dalam prolegnas, RUU itu tidak akan dibahas dan, dalam kesempatan evaluasi prolegnas rutin oleh Baleg dan pemerintah, RUU Pemilu itu dapat ditarik dari daftar Prolegnas Prioritas 2021.
Terlepas dari beberapa pilihan tersebut, menurut Supratman, parpol-parpol setuju agar pilkada tetap dilakukan pada 2024. Pintu revisi UU Pemilu pun kemungkinan besar tidak dapat diharapkan lagi saat ini untuk mengevaluasi keserentakan Pemilu 2019 dan menyiapkan keserentakan Pemilu 2024.
”Soal keserentakan itu sudah ada dalam putusan MK. Nanti tinggal apakah desain keserentakan itu diputuskan oleh KPU dan Bawaslu dengan menggelar rapat konsultasi dengan DPR dan pemerintah. Saya pikir walau tidak ada revisi UU Pemilu, desain keserentakan itu masih dapat dibicarakan antara penyelenggara dengan DPR dan pemerintah,” ucapnya.
Supratman mengatakan, Baleg menyadari ada sejumlah catatan yang perlu diperhatikan dalam evaluasi keserentakan pemilu. Salah satunya ialah menghitung jika pada 2024 nanti terjadi pilpres putaran kedua. Adapun jadwal yang tersedia di dalam UU Pilkada ialah 7 bulan. Pilpres dan Pileg dilakukan pada April 2024, sedangkan pilkada pada November. Kecukupan waktu itu perlu dibicarakan oleh penyelenggara dengan DPR dan pemerintah.
”Jadwal tahapan harus diatur dan simulasi perlu dilakukan karena hal itu sangat terkait dengan kesanggupan penyelenggara. KPU dapat melakukan rapat konsultasi dengan DPR dan pemerintah untuk membahas PKPU. Akan tetapi, apakah PKPU itu dasar hukum yang kuat atau tidak, itu soal lain,” ungkapnya. (bpro)
Sumber: CNN Indonesia, Kompas
Tinggalkan Balasan