Serang, bantenpro.id – Buruh se-Provinsi Banten gelisah penerapan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan merugikan mereka. Aliansi buruh pun meminta kenaikan upah minimum provinsi dan upah minimum kabupaten/kota serta kembalinya upah minimum sektoral kabupaten/kota.
Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Banten Al Hamidi menuturkan, masih ada peluang kenaikan upah yang besarannya tergantung dari upaya provinsi. Pihaknya masih menunggu instruksi dari Kementerian Ketenagakerjaan paling lambat 21 November 2021.
Penetapan upah minimum provinsi dan kabupaten mengacu pada PP No 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan. Meski begitu, masih ada peluang kenaikan besaran upah walaupun tak signifikan.
Ketua DPD Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia Banten Dedi Sudarajat menyebutkan, aliansi buruh se-Banten meminta kenaikan upah minimum provinsi tahun 2022 sebesar 8,95 persen, upah minimum kabupaten/kota sebesar 13,50 persen, dan pemberlakuan kembali upah minimum sektoral kabupaten/kota pada tahun 2021 dan 2022.
”PP No 36 Tahun 2021 membolehkan pengusaha menentukan upah buruh berdasarkan minimum provinsi atau kabupaten/kota. Namun, upah minimum provinsi lebih rendah ketimbang kabupaten/kota. Padahal, kebutuhan hidup layak berbeda-beda dan naik setiap tahun,” katanya, Rabu (03/11/2021).
Surat Keputusan Gubernur Banten Nomor 561/Kep.272-Huk/2020 tentang Penetapan UMK di Provinsi Banten Tahun 2021 menunjukkan, upah minimum provinsi sebesar Rp 2,4 juta. Sementara upah minimum kabupaten/kota berkisar Rp 2,75 juta hingga Rp 4,32 juta.
PP No 36 Tahun 2021 membolehkan pengusaha menentukan upah buruh berdasarkan minimum provinsi atau kabupaten/kota. Namun, upah minimum provinsi lebih rendah ketimbang kabupaten/kota.
Sejumlah serikat dan federasi buruh yang tergabung dalam Aliansi Buruh Banten Bersatu itu pun kemarin menggelar aksi unjuk rasa di Kawasan Pusat Pemerintahan Provinsi Banten, Kota Serang. Selain tiga tuntutan tersebut, mereka juga menyoroti perusahaan yang membandel dengan tidak menerapkan upah minimum sesuai peraturan pemerintah.
Di sisi lain, asosiasi atau organisasi pengusaha disinyalir terus menekan pemerintah untuk mengeluarkan aturan yang lebih fleksibel dan menguntungkan kepentingannya.
”Contohnya, UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan PP No 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan. Pengusaha diberikan kebebasan dalam menentukan upah buruhnya akan memakai UMK atau UMP,” katanya. (bpro)