Menggali Makna Kemerdekaan: Sudahkah Kita Merdeka?

bantenpro.id

bantenpro.id – Momentum peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-78 tahun ini menjadi panggung refleksi dalam mencari jawaban: Sudahkah kita benar-benar merdeka?

Bendera merah-putih memang sedang berkibar dengan megah. Semangat patriotisme juga meluap-luap. Tetapi realitas sosial yang dihadapi oleh berbagai lapisan masyarakat justru menghadirkan pertanyaan tentang makna sebenarnya dari kemerdekaan.

Salah satunya dari kalangan nelayan. Tori, seorang nelayan di pesisir Tangerang Utara, menggambarkan bahwa cita-cita kemerdekaan masih jauh dari kenyataan. Terutama bagi kaum nelayan yang menggantungkan hidupnya pada laut.

Dia menggugah kepedulian terhadap lingkungan dengan merinci dampak negatif limbah industri terhadap sumber daya laut, mengakibatkan kehancuran tambak kerang dan kualitas air laut yang tercemar.

“Bagi kami, nelayan, hari kemerdekaan hanyalah kata kosong,” ungkap Tori kepada bantenpro.id.

Baginya, merdeka sejati adalah ketika laut dan sumber daya alam dijaga dan dikelola secara bertanggung jawab untuk kepentingan bersama.

Tori melanjutkan, jika negara sudah benar-benar merdeka, laut dan semua isinya seharusnya terjamin oleh negara dan tidak dirusak oleh tangan-tangan kapitalis yang tak bertanggung jawab.

“Kami, para nelayan, mencari nafkah dari laut. Jika laut rusak, matapencaharian kami terancam,” tegas Tori.

Tantangan lain yang dihadapi Tori dan rekan-rekan nelayannya adalah proyek reklamasi yang masuk ke pesisir Tangerang Utara. Pembangunan mercusuar di atas laut telah mengubah perairan menjadi lahan kering.

Meskipun proyek ini mendapat dukungan dari pemerintah daerah, namun di baliknya terdapat ratusan tambak milik nelayan yang tergusur. Hasilnya, banyak tambak yang lenyap, mengurangi mata pencaharian mereka.

Persoalan lingkungan bukan satu-satunya permasalahan yang mewarnai makna kemerdekaan. Di kota Tangerang, buruh pabrik seperti Medy Hendra Sastra menghadapi keterbatasan dalam berserikat.

Diskriminasi dari pihak perusahaan dan minimnya pengakuan terhadap serikat buruh menunjukkan betapa jauh implementasi kemerdekaan di ranah kerja.

“Kebebasan berserikat masih terbelenggu,” ujar Medy kepada bantenpro.id, Selasa (15/08/2023).

Medy juga menyuarakan kekecewaannya terhadap maraknya praktik korupsi yang dilakukan oleh pejabat publik. Hal itu menurutnya bertabrakan dengan tujuan nilai-nilai kemerdekaan Indonesia.

Budaya rasuah uang negara itu sangat menciderai semangat kemerdekaan. Belum lagi dengan adanya Undang-Undang Cipta Kerja yang dianggap Medy justru berdampak buruk bagi pekerja. Bukannya sejahtera, justru sengsara.

“Jika diibaratkan, kita beri dia air susu, mereka balas dengan air tuba,” jelas Medy.

Sementara itu, di Kabupaten Serang, seorang petani asal Kecamatan Padarincang bernama Doif, menggambarkan kehampaan makna kemerdekaan bagi petani. Keterbatasan perlindungan harga pascapanen dan alih fungsi lahan pertanian menjadi pukulan bagi kaum tani yang selama ini telah menjadi tulang punggung produksi pangan.

“Petani belum pernah merasakan arti kemerdekaan yang sesungguhnya, kebijakan negara tidak pernah berpihak kepada petani,” jelasnya.

Menurut Doif, ribuan hektare lahan pertanian di wilayahnya telah tergusur oleh pembangunan proyek strategis nasional (PSN). Namun Doif dan petani lainnya tak mampu berbuat banyak karena dalih proyek itu untuk kemaslahatan masyarakat. Kata Doif, alih-alih untuk kepentingan umum, dampak dari pembangunan itu justru menyusahkan warga sekitar.

Bukan hanya oleh negara, kini banyak perusahaan swasta yang juga turut melakukan penggundulan lahan hijau demi pembangunan. Doif menyebut, eksploitasi sumber daya alam itu membawa dampak buruk bagi masyarakat.

“Dengan kondisi seperti ini, apa makna kemerdekaan yang harus dinikmati petani? Merdeka hanya untuk oligarki, tidak untuk petani,” katanya.

Dari suara-suara di atas, Peringatan 78 Tahun Kemerdekaan ini menjadi panggilan untuk mengoreksi arah perjalanan negara kita. Sudahkah kita merdeka?

Pertanyaan ini menjadi cermin bagi setiap warga negara, pemerintah, dan pemangku kepentingan untuk memastikan bahwa semangat kemerdekaan terwujud dalam kesejahteraan bersama, perlindungan lingkungan, dan keadilan sosial.

Presiden pertama Indonesia, Soekarno, pernah mengingatkan, “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tetapi perjuangan kalian akan lebih sulit karena melawan bangsa sendiri.”

Dalam kemerdekaan yang sebenarnya, bukan hanya mengusir penjajah yang menjadi fokus, tetapi juga membangun fondasi kesejahteraan bagi seluruh rakyat.

Kita mengenang perjuangan para pahlawan dengan memastikan bahwa kemerdekaan bukan hanya slogan, tetapi keadaan yang benar-benar dirasakan oleh setiap individu di negeri ini. (mst)




Tinggalkan Balasan